Klippings

Clippings of various news and articles that tickle my interest of reading or knowing about it.

Thursday, June 02, 2005

High Cost Politics Bernama Pilkada

Keinginan sejumlah pihak agar UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah membolehkan adanya calon independen dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) kandas. Mahkamah Konstitusi (MK) menilai pengusulan calon pasangan kepala daerah melalui partai politik, tidak menghilangkan hak perorangan untuk ikut dalam pemerintahan. Dengan demikian, hanya ada satu pintu untuk memasuki pilkada: melewati partai politik!

Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Ginandjar Kartasasmita, berpendapat pengajuan calon kepala daerah (cakada) yang melewati pintu parpol menyebabkan sistem rekrutmen menjadi semi tertutup. Akibatnya, kata dia, banyak tokoh ''yang berdesak-desakan' ingin memasuki pintu itu, untuk mendaftar dan menjadi cakada. ''Karena pintunya sempit, akibatnya untuk menjadi calon membutuhkan biaya yang tak sedikit. Setelah kita terkenal menjadi negara yang high cost economy, nanti kita akan terkenal sebagai bangsa high cost politics. Untuk negara yang tergolong miskin, biaya seperti itu sangat berlebihan,'' tuturnya, di Jakarta, kemarin (1/6).

Ginandjar mengkhawatirkan maraknya perilaku money politics dalam pilkada. Ia menyadari untuk kampanye, pencetakan brosur, atau sosialisasi membutuhkan dana. Menurutnya, pengeluaran anggaran untuk hal tersebut masih wajar. ''Yang tidak wajar adalah orang membeli jabatan kepala daerah dengan uang. Banyak laporan bahwa seorang calon menghabiskan uang bermiliar-miliar. Berapa uang panas yang tidak produktif? Ini jelas tidak membangun sistem politik yang baik,'' tuturnya.

Untuk mengeliminasi praktik politik uang, ungkap Ginandjar, adalah dengan membuka sistem rekrutmen yang semi tertutup itu. Artinya, kata dia, calon independen harus bisa tampil dalam ajang pilkada. ''Calon tidak perlu semata-mata melelui parpol. UU jangan menutup calon independen. Perlu adanya revisi UU Pemda, UU Susduk, dan UU Pemilu. DPD berpendapat calon perorangan dapat mencalonkan apabila mendapat dukungan sekurang-kurangnya 7,5 persen dari jumlah penduduk daerah tersebut.

'' Bercermin pada pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang independen, ungkap Ginandjar, banyak anggota yang terpilih tapi tidak mengeluarkan ongkos yang besar. Misalnya, kata dia, KH Thoyib Amir hanya menghabiskan dana Rp 1,9 juta selama masa kampanye. ''Kok bisa? Ini karena independen dan tidak tergantung pada parpol. Hal seperti ini seharusnya diakomodasi dalam sistem pilkada.''

Dugaan adanya politik uang itu terlihat pada pilkada di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang digelar Rabu (1/6). Tim sukses salah satu kandidat menemukan sedikitnya 500 kartu pemilih ganda serta pemberian ''cenderamata'' dan uang Rp 300-Rp 500 ribu/orang. Peneliti LIPI yang juga anggota Desk Pilkada Pusat, Alfitra Salamm, mengemukakan pentingnya para penegak hukum mendefinisikan money politics karena dikhawatirkan hal ini akan menjadi masalah besar dalam pilkada. ''Mungkin dapat juga dilakukan oleh Desk Pilkada sendiri, karena selama ini dalam aturan pilkada sendiri tidak jelas,'' paparnya.

Meskipun aturan pilkada banyak kekurangan, DPD akan mengawasi proses demokrasi tersebut. Menurut Ginanjdar, DPD akan melakukan pengawasan dalam dua tataran. Secara nasional, tambahnya, DPD melakukan pengawasan dengan menampung berbagai masukan dan usulan dari pemerintah, LSM, media massa, dan sebagainya. Selain itu, DPD mengirimkan tim pengawas ke daerah yang menggelar pilkada. ''Ada 32 orang anggota DPD yang melakukan pengawasan dan akan ditambah kalau ternyata kurang. Mereka terutama akan mengawasi pilkada di daerah-daerah konflik,'' ujar Ginandjar.

Sebagai bekal, katanya, DPD telah menyusun Pedoman Pengawasan DPD yang telah disusun Panitia Ad Hoc I DPD. Pedoman itu mencakup masa persiapan pemilihan, penetapan pemilih, pendaftaran dan penetapan pasangan calon, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan calon terpilih, serta pengawasan dan pemantauan pemilihan. ''Format pengawasan dibuat seragam. Namun, kekhasan daerah tetap dimungkinkan untuk diakomodasi. Prinsip kita, kalau kita menyusun yang yang baik dengan langkah yang keliru, pada akhirnya akan keliru.''