Klippings

Clippings of various news and articles that tickle my interest of reading or knowing about it.

Monday, May 22, 2006

Bung Karno dan 'Islam Sontoloyo'

TEMPO edisi. 13/XXXV/22 - 28 Mei 2006
Islam Sontoloyo A. Suryana Sudrajat
· Mahasiswa Sejarah dan Peradaban Islam pada Program Pascasarjana
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

ITU salah satu judul tulisan Bung Karno tahun 1940 di majalah Pandji
Islam terbitan Medan. Waktu itu dia di Bengkulu, tanah pembuangannya
setelah Endeh. Sejak di "tanah misi" itu, BK memang punya minat yang
serius- pada Islam. Sementara dulu ditumpahkan dalam surat-suratnya
kepada Ustad A. Hassan, pemimpin Persis di Ban-dung, sekarang
dicurahkan ke dalam pelbagai karangan.

Arkian, BK, yang juga mengajar di SD Muhammadiyah setempat, membaca
satu "parchabaran yang gandjil" di koran Pemandangan (6 April 1940).
Yakni tentang guru agama yang dijebloskan ke bui karena mencabuli
muridnya. BK sendiri merasa tidak terlalu aneh kalau ada guru yang
tega memperkosa anak didiknya sendiri. "Yang saya katakan ganjil ialah
caranya si guru itu 'menghalalkan' ia punya perbuatan," tulis BK. Agar
guru itu bisa memberi pelajaran kepada murid-muridnya yang perempuan,
yang mesti dilangsungkan secara tatap muka, maka mereka "di-mahram"
alias dinikahi dulu. "Sungguh, kalau reportase….itu benar, maka
benar-benarlah di sini kita melihat Islam sontoloyo!"


Islam sontoloyo?

Dalam surat-suratnya dari Endeh yang terkenal itu, BK berbicara
tentang bagaimana "mengoperasi Islam dari bisul-bisulnya", bagaimana
memerdekakan alam pikiran dari "kejumudan", "taklidisme",
"hadramautisme", dari sikap dan praktek "mengambing", "kolot bin
kolot", "mesum mbahnya mesum", dan dari lingkungan "dupa dan korma dan
jubah dan celak mata".

Bagi Bung Karno, "Islam is progress". Suatu keyakinan yang harus
terus-menerus diterjemahkan dan diperbarui tiap zaman. Ini karena
masyarakat "adalah barang yang tidak bisa diam, tidak tetap, tidak
mati, tetapi....bergerak senantiasa, maju, berevolusi dan dinamis".
BK, dalam kata-katanya sendiri, ingin menangkap Islam sebagai "api",
bukan Islam sebagai "abu", apalagi Islam sebagai "sontoloyo".


Islam sebagai sontoloyo?

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, "sontoloyo" ber-arti konyol,
tidak beres, bodoh, yang dipakai sebagai kata makian. BK dengan
ungkapan-ungkapannya yang sarkastis memang terkesan royal membombardir
paham dan praktek keberagamaan yang dianggapnya jumud (beku) dan tidak
rasional.
Salah satu sumber kesontoloyoan itu, menurut BK, karena kaum
muslimin menganggap fikih sebagai satu-satunya tiang keagamaan. "Kita
lupa, atau tidak mau tahu, bahwa tiang keagamaan ialah terutama sekali
terletak di dalam ketundukan kita punya jiwa kepada Allah SWT. Kita
lupa bahwa fikih itu, walaupun sudah kita saring semurni-murni-nya,
belum mencukupi semua kehendak agama," tulisnya.

Meski begitu, BK mengingatkan pembacanya bahwa diri-nya tidaklah
membenci fikih. "Saya bukan pembenci fikih. Saya malahan berkata bahwa
tiada masyarakat Islam dapat berdiri zonder hukum-hukumnya fikih."
Jadi? ''...saya hanya-lah pembenci orang atau perikehidupan agama yang
terlalu mendasarkan diri kepada fikih itu sahaja, kepada
hukum-hukumnya syariat itu sahaja." Di akhir tulisannya, BK
menyatakan, "Jika pemuka-pemuka kita hanya mau bersifat ulama-ulama
fikih sahaja dan bukan pemimpin kejiwaan sejati, maka janganlah ada
harapan umat Islam Indonesia akan dapat mempunyai kekuatan jiwa atau
kekuatan jiwa yang haibat untuk menjunjung dirinya dari keadaan aib
yang sekarang ini…. Janganlah kita kira diri kita sudah mukmin, tetapi
hendaklah kita insaf bahwa banyak di kalangan kita yang Islam-nya
masih Islam sontoloyo!"

Untuk membebaskan umat dari Islam yang sontoloyo, BK, dalam
artikelnya "Memudakan Pengertian Islam", bicara soal perlunya
pemikiran baru. Panta rei, segala hal berubah, ia mengutip Heraclitos.
Pokok tidak berubah, agama tidak- berubah, tetapi
pengertian-pengertian manusia tentang ini selalu berubah. Koreksi
pemahaman selalu ada. Islam mandek berabad-abad, kata dia, karena
ditutup-nya bab el ijtihad. Dan bisa berkembang kembali, katanya-,
dengan mengutip Farid Wajdi, hanya jika penganut-nya menghormati-
kemerdekaan roh, kemerdekaan akal, dan kemerdekaan pengetahuan.

Mungkin karena karangan-karangannya itu, di kemudian hari A. Dahlan
Ranuwiharjo memberi predikat tambahan kepada BK: pemikir Islam,
sebagaimana Moh. Natsir, Prof H.M. Rasjidi, atau Haji Agus Salim.
Dahlan, yang mantan Ketua Pengurus B Himpunan Mahasiswa Islam dan
disebut-sebut Megawati sebagai "Islam nasionalis" itu, menyebut BK
seorang teknolog, pejuang, politisi, pemikir, ideolog, filosof,
budayawan, seniman, internasionalis, humanis, dan huisvader (bapak
rumah tangga) yang baik. Mana yang pa-ling tepat dari beberapa julukan
yang diberikan ayah mantan peragawati Dhani Dahlan itu, silakan saja.
---


DI antara kita mungkin ada yang mendehem mendengar penilaian Dahlan
Ranuwiharjo, yang memang pencinta berat BK. Tapi itu tidak seberapa
dahsyat dibanding Wajiz Anwar punya penilaian. Bagi dosen filsafat
IAIN Yogyakarta ini, seperti dikatakan Djohan Effendi dalam
pengantarnya untuk buku catatan harian Ahmad Wahib, BK adalah mujaddid
(pembaru) Islam terbesar abad ke-20. Wahib sendiri, yang sampai akhir
hayatnya adalah calon reporter Tempo, adalah salah satu aktor
pembaruan pemikiran Islam se-angkatan Nurcholish Madjid.
Menurut almarhum Wajiz, alumni Gontor yang melanjutkan pelajarannya
ke Mesir dan kemudian "minggat" ke Jerman lantaran tidak puas, apa
yang dilakukan BK tidak kalah dari upaya para pemikir muslim
terdahulu. Sementara dulu mereka berhasil mengawinkan filsafat Yunani
dan ajaran-ajaran Islam, Bung Karno berhasil mengawinkan Marxisme dan
Islam.

Tapi angkatan yang lebih kemudian pun, termasuk mere-ka yang paling
kritis, juga menempatkan BK sebagai pemikir Islam yang serius. Ulil
Abshar-Abdalla, misalnya. Intelektual NU dan penggiat Jaringan Islam
Liberal ini pernah berkata bahwa kritik Bung Karno terhadap pemahaman
-Islam kaum muslimin sama dengan kritik kaum pembaru sekarang seperti
Nurcholish Madjid, meskipun aksentuasi dan tema-tema yang diambil agak
beda.

Allahu a'lam. Yang pasti, selagi berijtihad melalui
karang-an-karangannya di Bengkulu, tempat dia beroleh istri yang baru,
Perang Dunia II pecah. Dan keadaan ini tidak memberi BK kesempatan
melanjutkan gagasan pembaruannya. BK sudah beralih perhatian. Juga
ketika ia memimpin Republik. Bahkan pada bulan-bulan menjelang
kejatuhannya, ketika BK, dalam puncak ketenarannya setelah sukses
merebut Irian Barat, banyak menerima gelar sarjana kehormatan,
termasuk dari berbagai perguruan tinggi Islam. Pada pidato-pidato
doktor honoris causa-nya itu, agak sulit kita menemukan perkembangan
pemikirannya yang terdahulu, meski pemaparannya tetap memukau. Ini
bisa dilihat dari pidatonya, Tjilaka Negara yang Tidak Ber-Tuhan, di
IAIN Jakarta. Pada kesempatan itu BK antara lain menyatakan:
"Jika kalian ingin mengerti mengapa dulunya Islam pernah mengalami
pasang naik….dan juga pasang surut….bebaskan pikiranmu dari berpikir
biasa, berpikir konvensionil.…kamu mahasiswa IAIN, kamu jangan
mempelajari Islam dan mencoba memasukkan Islam dengan, apa itu, maaf,
jiwa pesantren…."

Hidup dengan "jiwa pesantren", bagi Bung Karno, ibarat tinggal dalam
ruang tertutup. "Bukalah! Bukalah pintu, bukalah jendela! Ya, bahkan
lebih dari itu: sekali kamu keluar dari ruangan pengap itu,
bangkitlah, bangkitlah, naik ke langit...."

Ini adalah Juni, bulan yang mengingatkan kita kepada Bung Karno. Di
bulan ke-6 tahun Masehi, proklamator itu la-hir (1901), menyampaikan
pidatonya yang terkenal tentang Pan-casila (1945), dan wafat (1970).
Dan di antara bentangan usianya yang 69 tahun itu, BK mengisi
hari-harinya dengan u-paya memerdekakan alam pikiran dari "kejumudan-,
takli-dis-me, hadramautisme, dari sikap dan praktek me-ngambing, kolot
bin kolot, mesum mbahnya mesum, dari ling-kungan dupa dan korma dan
jubah dan celak mata dan dari ji-wa pesantren", yang dengan sarkastis
ia sebut Islam sontoloyo.

Anda mungkin bertanya: sudah enam dasawarsa lebih sekarang sejak BK
mewacanakan Islam sontoloyo. Bolehlah dipastikan sebagian dari
aspek-aspek kesontoloyoan yang diungkap BK itu sudah menguap dari alam
pikiran dan jiwa kaum muslimin. Anak-anak muda banyak yang berpikiran
maju, pesantren sudah memodernisasi diri, para santri tidak melulu
sibuk dengan ibadah ritual, melainkan menyebar ke segala lapang
kehidupan, bahkan sempat ada yang jadi pre-siden, seperti BK, meskipun
sebentar. Jadi, adakah kini yang disebut Islam sontoloyo itu?

Kalaulah kita berpegang pada kamus bahwa sontoloyo berarti bodoh,
konyol, atawa tidak beres, terus terang saja ja-wabnya ada dan banyak.
Lihatlah bagaimana kaum birokrat, para elite militer, para pemimpin
partai, atau para pedagang besar, yang berlindung di balik kedamaian
agama, dan mencari penyelamatan diri melalui ritual, sementara tidak
peduli, atau tidak mau tahu, bahwa mereka korup, suka merampas, atau
mengompas kawan sendiri, atau tutup mata terhadap berbagai kejahatan
dan keculasan di sekitar mereka.

Mereka mengira sudah menjadi mukmin hanya dengan berzikir, salat,
naik haji, sedekah, menangis-nangis di layar TV, atau merusak papan
reklame bir dan tempat hiburan. Lalu, ada juga yang ingin
mengembalikan tata pemerintahan ke zaman lampau, menerapkan syariat
dengan hukum-hukum pada abad ke-7 Masehi, tanpa bersedia memahami
keadaan sekeliling. Ada lagi yang memanipulasi simbol-simbol keagamaan
untuk kepentingan politik, sementara antidemokrasi, tidak menghormati
hak asasi manusia, berjihad secara ngawur. Ada yang memperdagangkan
kegiatan keagamaan, ada yang dengan bangga main bom dan membunuhi
orang-orang. Jadi, seperti kata BK dulu, insaflah bahwa "Islamnya kita
masih Islam sontoloyo".